Sepak bola diakui sebagai salah satu cabang olahraga “sejuta umat”. Kesederhanaan dalam memainkan olahraga tersebut dianggap sebagai salah satu sebab begitu populernya olahraga ini. Hanya bermodalkan sebidang tanah kosong -tanpa peduli tanahnya miring atau banyak lubang-, sebuah bola plastik, dan sandal-sandal yang tertumpuk sebagai tiang gawang, sudah cukup membuat beberapa bocah cilik siap bermain. Belum lagi jika kondisi cuaca hujan, maka permainan sepak bola akan semakin seru tidak hanya bagi anak-anak tapi juga yang dewasa. Tidak hanya seru untuk dimainkan, pertandingan sepak bola juga seru untuk disimak. Pembahasan satu pertandingan klub favorit bisa bertahan berhari-hari, bahkan bisa menjadi topik pembicaraan dengan orang asing -rekan bisnis baru misalnya-.
Bicara mengenai pertandingan sepak bola, pada awal tahun 90-an, mulai masuk siaran liga sepak bola dari luar negeri. Berawal dengan TVRI yang menayangkan Liga Inggris, lalu berlanjut dengan RCTI -sebagai stasiun televisi swasta pertama Indonesia- . RCTI membawa Serie A (Liga Divisi teratas dari Itali). Serie A sangat populer pada saat itu dan merupakan liga teratas dunia dengan banyaknya pemain top dunia bermain pada liga tersebut. Masyarakat Indonesia begitu nyaman dengan tayangan sepak bola kelas dunia yang bisa dapat menikmatinya hanya dengan memasang antena televisi pada rumah masing-masing. Tontonan gratis.
Sementara itu, pada belahan bumi Amerika dan Eropa sana, pemilik hak siar mulai melihat peluang untuk me-monetize konten-konten atau siaran-siaran yang mereka punya. Termasuk siaran liga sepak bola mereka. Wilayah Amerika dan Eropa sudah sangat umum istilah konten berbayar atau pun pay-per-view. PPV atau pay-per-view adalah istilah yang mana jika ada pihak yang ingin menonton sebuah konten atau siaran, maka ia harus membayar sejumlah harga tertentu. Yang mana Indonesia baru mengadopsi bisnis seperti ini mungkin di 10 tahun terakhir, atau bahkan 5 tahun terakhir ini.
Digitalisasi Konten
Kondisi digitalisasi siaran sepak bola ini semakin menjadi dengan munculnya OTT (Over The Top), seperti Netflix dan yang semacamnya. OTT (Over The Top) adalah istilah yang mana konten atau siaran bisa khalayak ramai nikmati hanya dari gawai masing-masing individu. Apalagi harus mengakui, konten-konten OTT tentunya jauh lebih berkualitas dari pada dengan siaran televisi analog yang gratis. Saya sendiri sudah memasuki tahun ke-3 meniadakan televisi di rumah, karena siaran televisi lokal tidak memenuhi ekspektasi saya. Saya lebih memilih untuk berlangganan tayangan yang memang ingin saya konsumsi.
Indonesia, sebagai negara yang belum familiar dalam mengadopsi tayangan berbayar ini. Mau tidak mau harus mengikuti arus komersialisasi. Karena semakin mahalnya lisensi tayangan olahraga (berdasarkan berita berikut, Harga 5 dari 7 paket Liga Inggris tahun 2019-2022 bernilai Rp. 87,8 Triliun). Tentunya membuat stasiun televisi di Indonesia cukup berat dalam menayangkan ini secara gratis. Apalagi dalam paket full -biasanya paket full ini termasuk pertandingan antara tim-tim besar-. Pergerakan perubahan ini sudah cukup terlihat beberapa tahun terakhir, yang mana stasiun-stasiun televisi lokal yang memiliki hak siar Liga Inggris tidak menayangkan seluruh pertandingan setiap pekannya. Ini bisa dimengerti mengingat stasiun-stasiun televisi tersebut harus menghitung untung-rugi dalam setiap konten atau siaran yang mereka tampilkan.
Digitalisasi konten ini akan membawa kita ke era konten-konten yang sangat spesifik dengan para peminat yang semakin spesifik juga. Saya pikir ini akan membuka kesempatan bagi setiap orang. Yang mempunyai ide-ide tertentu mampu me-monetize kontennya lebih mudah dan tanpa batas karena terhubungnya seluruh dunia melalui jaringan bernama internet. Stasiun-stasiun televisi konvensional pun harus bersiap untuk mengikuti arus digitalisasi siaran sepak bola ini jika tidak ingin mati dan tergerus oleh konten-konten OTT. Semoga era digitalisasi ini membawa kebaikan bagi kita semua.